
Jakarta | beritabatam.co : Rumah Gerakan 98 mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengeksekusi rekomendasi Pansus DPR RI tahun 2009 mengenai penuntasan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat penghilangan aktivis 97/98 secara paksa.
Sebab jika tidak segera dilaksanakan, kasus ini akan terus menjadi beban pemerintahan selanjutnya. Tuntunan ini disampaikan oleh Bernard Ali Mumbang Haloho selaku Ketua Umum Rumah Gerakan 98 dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (9/4/19).
“Kemarin kami telah mengirimkan surat kepada presiden yang diterima oleh Setneg terkait kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti secara konkret. Kami mendesak dan meminta presiden merespon rekomendasi Pansus DPR 2009. Seharusnya bagi pemerintahan sekarang ini adalah momentum emas untuk merespon rekomendasi DPR yang diabaikan oleh rezim sebelumnya,” ujar Bernard Ali Mumbang Haloho.

Ia dengan tegas mengatakan bahwa tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia tidak ada kaitannya dengan kontestasi Pilpres 2019. Selama belum dituntaskan, kasus ini akan terus bergulir untuk mencari keadilan bagi aktivis yang menjadi korban penghilangan secara paksa tahun 97/98.
“Kami keberatan kalau ada narasi pihak tertentu yang terlibat dalam kontestasi pilpres bahwa ini isu usang dan kaset rusak yang diulang setiap momentum pilpres. Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat butuh perjuangan panjang dan sunyi. Setiap momentum harus dimaknai untuk menyuarakannya,” tutur Bernard Ali Mumbang Haloho.
Kasus ini seharusnya sudah tuntas andai saja rekomendasi Pansus DPR RI langsung direspon oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden RI saat itu dengan menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM Adhoc.
Jika kasus Abepura, Timor Leste dan Tanjung Priok bisa diselesaikan dengan membentuk Pengadilan Adhoc, maka kasus pelanggaran HAM berat 97/98 juga bisa dituntaskan. Oleh karena itu, Rumah Gerakan 98 akan terus menggalang dukungan berbagai elemen agar pemerintah responsif terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 97/98.
“Termasuk siapapun nanti yang terpilih di Pilpres 2019 ini, kami berharap komitmen penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis itu bisa dilakukan. Walau demikian jangan sampai pemerintahan yang baru nanti adalah pemerintah yang memiliki beban masa lalu, yang terlibat pada peristiwa masa lalu berupa pelanggaran HAM berat,” kata Bernard Ali Mumbang Haloho.
Sementara itu, Beka Ulung Hapsara sebagai narasumber lainnya dari Komnas HAM memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Rumah Gerakan 98. Menurutnya, masalah pelanggaran HAM berat bukan hanya isu elektoral saja tapi isu bangsa yang menjadi beban sejarah yang terlalu sempit jika dihubung-hubungkan dengan momen Pemilu.
Hingga saat ini setidaknya ada 11 laporan kasus pelanggaran HAM berat yang berkasnya sudah di Kejaksaan Agung. Beberapa di antaranya adalah kasus 1965, penembakan misterius, Talangsari, penghilangan paksa, Mei 98, Trisakti Semanggi 1 dan 2, Wasior Wamena, Abepura, Timor Leste dan kerusuhan Tanjung Priok.
Dari beberapa penyelidikan secara politik yang paling kuat adalah penghilangan paksa. Baik DPR mau Komnas HAM sudah menetapkan bahwa kasus ini adalah pelanggaran HAM berat.
Dalam rangka penyelesaian kasus yang ada sudah banyak yang dilakukan oleh Komnas HAM dengan segala keterbatasan yang ada, misalnya bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo yang didampingi Jaksa Agung, Mensesneg dan Menkumham sekitar 8 Juni 2018.
“Presiden harus menyelesaikan secara yudisial, bukti permulaan sudah cukup. Kalau masih kurang bisa menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyelidikan lanjutan. Kami menyarankan presiden memulai dari kasus Wasior Wamena 2005. Bukti masih bisa digali dan pelaku masih ada. Sekali kasus ini terungkap maka akan mengungkap kasus-kasus lainnya,” ucap Beka Ulung Hapsara.
Ia melanjutkan, saat itu Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM agar segera memulai penyelidikan lanjutan.
Tanggal 27 November 2018 Komnas HAM menerima surat dari Jaksa Agung tentang pengembalian berkas penyelidikan Komnas HAM yang disertai petunjuk-petunjuk yang di dalamnya disebutkan bahwa penyelidikan Komnas HAM masih kekurangan bukti.
Sesuai Undang Undang, Komnas HAM diberikan kewenangan merespon surat tersebut dalam jangka waktu 30 hari. Tepatnya pada tanggal 26 Desember 2018, Komnas HAM akhirnya membalas surat yang dilayangkan Jaksa Agung.
“Dalam surat itu, kami sampaikan bahwa tidak ada sesuatu yang baru dari surat Kejaksaan Agung mengenai status dan petunjuknya. Sama sekali tidak ada yang baru,” ujarnya.
Selain itu, dalam peringatan Hari HAM internasional tahun 2018, Komnas HAM telah mengirimkan delapan poin rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden Joko Widodo yang dua poin teratasnya adalah mengenai pelanggaran HAM berat.
Komnas HAM merekomendasikan agar Presiden memerintahkan Jaksa Agung melakukan penyelidikan lanjutan. Jika tetap ingin menggunakan jalur non-yudisial presiden bisa menggunakan Perpres pengganti Undang Undang.
“Yang perlu didorong adalah bagaimana jaksa agung menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan yang kewenangannya jauh lebih besar dari Komnas HAM seperti pemanggilan paksa. Jika tidak, maka ini akan terus menjadi beban pemerintahan ke depan,” katanya. (Reporter : Hamdi Putra/red)
Discussion about this post