Oleh : Abdul Muid Badrun
Jum’at Mubarok | beritabatam.co : Siang itu, panas terik matahari begitu menyengat. Jalanan yang kami lalui macet parah. Namun, tak mengurangi niat kami untuk sampai pada tujuan. Apa itu? Misi suci (holy mission), yaitu menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan dalam lingkup kerja.
Ketika sampai pada tujuan, kami disambut dengan ramah dalam suasana kekeluargaan. Kami hanyut dalam pembicaraan. Sampai akhirnya kami kaget karena tuan rumah sudah tidak memiliki apa-apa. Selain niat dan semangat untuk melunasi utang-utangnya. Istrinya masih bekerja ketika kami asyik dalam pembicaraan.
Sebut saja namanya Rudy. Menyesali semua perbuatannya. Menurut pengakuannya, selama ini ia melakukan tindakan salah dan berdosa itu karena ikut-ikutan seniornya. Rudy yang baru satu tahun bekerja terkena masalah fraud (pencurian dengan menyalahgunakan amanah) yang membuatnya malu dan terpuruk.
Ia malu karena perbuatannya membuat sang istri harus menanggung akibat dari perbuatannya. Terpuruk karena sudah bisa dipastikan kantor tempat ia bekerja akan memberhentikannya. Pengakuan dosa dan salah ternyata tidak cukup.
Karena dosa dan salah terkait dengan Allah (hablum minallah). Sementara kerugian yang timbul atas tindakan fraud-nya (meski barang yang diambil dikembalikan seutuhnya), terkait dengan manusia (hablum minannas).
Artinya, hukuman bagi pelaku fraud tetap berjalan. Bukan menghukum orangnya namun tindakannya. Mengapa? Karena dengan menghukum tindakannya, kita sudah berkampanye amar makruf nahi munkar.
Seperti tertuang dalam Alquran, “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan. Menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS Ali Imran: 104).
Inilah filosofi pentingnya hukum ditegakkan di bumi Indonesia. Para pelaku korupsi meski uang yang dikorup dikembalikan kepada negara lagi, tetap saja terkena hukum atas tindakannya.
Pertanyaannya, mengapa pelaku kesalahan atau tindakan kriminal ini tetap saja marak dilakukan? Padahal hukum sudah ditegakkan? Inilah yang dalam bahasa saya menyebut, “Dosa itu tak tampak, maka harus ditampakkan dengan terapi kejut (shock therapy) sampai pelaku jera dan tidak akan mengulanginya lagi.”
Jika hukuman mati bagi koruptor adalah cara terbaik agar pelaku jera dan tak mengulanginya lagi atau membuat takut orang yang berniat melakukan korupsi, maka jangan sampai ditunda lagi.
Karena, memberantas korupsi, fraud, dan semacamnya ibarat kita mencukur kumis tiap hari. Jika kita biarkan satu atau dua hari saja, maka kumis akan terus tumbuh dan tumbuh. Makanya, harus terus dicukur dan dicukur.
Jangan sampai lengah dan dibiarkan tumbuh apalagi sampai lebat. Karena kalau lebat akan semakin sulit mencukurnya. Apakah korupsi dan fraud di Indonesia sudah lebat atau sangat lebat tumbuhnya? Sehingga, sepertinya kita kesulitan untuk memberantasnya.
Jika dosa fraud, korupsi dan sejenisnya ini dibiarkan merajalela, maka kita akan masuk pada kegelapan peradaban (The dark of civilization). Dan ini adalah awal kehancuran sebuah bangsa.
Maka dari itu, mari menjadi bagian dari penegak kebenaran dan pemberantas kebatilan di Indonesia. Jika tidak bisa, minimal jangan menjadi bagian dari kebatilan tersebut.
Seperti sindiran hadis Nabi SAW, “Barangsiapa melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jikapun tetap saja tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya (doa). Karena itulah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Tulisan asli tayang di Republika Online
Discussion about this post