Oleh: D.Y. Witanto
(Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas MA)
Pengantar
Serentetan kejadian operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK yang melibatkan segelintir oknum pejabat peradilan, seakan meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan publik. Segudang prestasi yang dicapai Mahkamah Agung seperti tiga kali mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK, penghargaan dalam penyusunan laporan keuangan dengan capaian tertinggi, peringkat ke 5 dari 87 Kementrian/Lembaga dalam realisasi anggaran dengan indikator kinerja terbaik serta banyak capaian prestasi lainnya seakan tidak ada artinya ketika tersiar kabar seorang hakim atau panitera pengadilan terlibat kasus jual beli perkara, hal ini menunjukan bahwa espektasi masyarakat jauh lebih besar kepada persoalan integritas aparatur ketimbang pada pengelolaan administrasi.
Berdasarkan data Mahkamah Agung, jumlah aparatur pengadilan (hakim dan non hakim) yang dijatuhi sanksi selama tahun 2015 sebanyak 265 orang, jika dibandingkan dengan keseluruhan personil pengadilan yang jumlahnya sekitar 33.000 orang di seluruh Indonesia, (meski tidak boleh dibilang kecil), secara prosentase hanya 0,8%, namun karena ekspose media begitu gencar dan melibatkan perkara-perkara yang menarik perhatian, maka dampaknya cukup besar terhadap reputasi Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dimata publik. Apapun alasannya kepercayaan publik harus dibangun kembali, tugas bagi seorang public relation (humas) untuk bisa memulihkan keadaan dan membangun kembali citra baik melalui langkah-langkah yang tepat dan terencana, karena tidak mungkin sebuah lembaga publik seperti Mahkamah Agung berjalan tanpa dukungan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat.
Upaya keras telah dilakukan oleh Mahkamah Agung selaku pengendali kebijakan untuk mengembalikan kepercayaan publik dengan menerbitkan pelbagai regulasi terkait pengawasan dan penegakkan disiplin bagi segenap aparaturnya. Keseriusan Mahkamah Agung dalam pembenahan kedalam tergambar dari lahirnya 3 Perma baru antara lain: Perma Nomor 7 tahun 2016 tentang tentang Penegakkan Disiplin Kerja Hakim pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya, Perma Nomor 8 tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya serta Perma Nomor 9 tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (whistleblowing system) di Lingkungan Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan di Bawahnya.
Upaya Pemulihan Citra dan Reputasi
Citra Mahkamah Agung bisa dipulihkan dengan adanya peran humas yang baik, sedangkan fungsi kehumasan dapat berjalan dengan efektif jika didukung oleh tiga elemen yaitu: (1). sumber daya manusia yang profesional, (2). Sarana yang memadai dan (3). alokasi anggaran yang cukup. Perlu ditunjuk orang-orang yang secara khusus menjalankan fungsi kehumasan agar memiliki kinerja tersendiri sebagai mata, mulut dan tangan pimpinan dalam menyukseskan kebijakan-kebijakan yang dibuat. Humas harus membuat planing dan action plan yang tepat dan terarah guna membangun citra baik bagi lembaga, memuluskan capaian target dari kebijakan yang dibuat serta menciptakan hubungan yang harmonis antara pimpinan dan pelaksana tugas dibawahnya.
Ketidakseimbangan pemberitaan menjadi sebab terpuruknya citra Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan. Humas wajib menjaga keseimbangan berita dengan cara mempublikasikan berita yang memiliki kandungan positif dengan tujuan publik mendapatkan berita yang berimbang sehingga tidak terlalu fokus pada pemberitaan negatif yang akan merugikan kepentingan lembaga. Mahkamah Agung memiliki banyak putusan yang mengandung kaidah konstruktif dan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat pencari keadilan, semua itu bisa menjadi bahan berita yang positif jika mampu terekspos dengan baik ke publik.
Peran humas tidak bisa lepas dengan media, humas harus selalu menjalin kemitraan dengan seluruh media dalam rangka membimbing dan membentuk sikap dan persepsi masyarakat terhadap lembaga. Kemitraan dengan media bisa dibagun melalui pertukaran informasi, pertemuan berkala dengan pimpinan dan awak media dalam bentuk press party maupun media gathering. Bagi lembaga publik sebesar Mahkamah Agung yang memiliki 824 satker di seluruh Indonesia, 33.000 personil yang 8000 diantaranya hakim pada empat lingkungan peradilan tentu memerlukan peran humas yang kuat dan handal untuk menjaga dan mempertahankan citra baik di mata publik. Kepercayaan publik sangat penting untuk menunjang fungsi dan tugas Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya.
Penguatan Peran dan Fungsi
Berdasarkan Perma No. 7 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan fungsi humas di pengadilan melekat dengan Kepaniteraan Hukum, sedangkan juru bicara ditunjuk dari salah seorang hakim yang ruang geraknya dibatasi oleh kode etik. Hakim akan kesulitan jika dihadapkan pada kewajiban untuk menyampaikan informasi terkait dengan perkara yang ditanganinya sendiri, humas atau juru bicara pengadilan semestinya tidak memiliki conflic of interest dengan informasi yang akan disampaikan ke masyarakat.
Humas harus memiliki keleluasaan dalam menyampaikan informasi kepada publik agar tidak menjadi efek karambol terhadap dirinya sendiri, namun disisi lain penyampaian informasi tentang prosedur beracara di pengadilan akan sulit disampaikan oleh orang yang tidak berlatar belakang hakim, karena materi yang disampaikan akan bersifat teknis, sehingga sebaiknya fungsi kehumasan di pengadilan dijalankan oleh suatu unit khusus yang terdiri dari hakim sebagai juru bicara dan beberapa staf untuk menjalankan fungsi kehumasan lainnya seperti yang diterapkan juga oleh lembaga lain seperti Polri dan KPK.
Informasi yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya terkait dengan info penyelesaian perkara, meskipun sebagian fungsi telah dijalankan oleh sistem informasi berbasis teknologi (SIPP), namun fungsi kehumasan terkait dengan media relationship tetap diperlukan. Untuk membentuk unit khusus kehumasan di tiap-tiap pengadilan pasti terkendala dengan keterbatasan anggaran dan personil yang dimiliki, tidak meratanya distribusi personil di tiap daerah tentu akan menjadi persoalan tersendiri, namun dengan berlakunya Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mewajibkan setiap institusi publik untuk menyampaikan informasi kepada publik, maka kedepannya fungsi humas akan semakin berat dan komplek yang tidak mungkin hanya dijalankan oleh seorang hakim saja, namun perlu dilengkapi dengan sarana dan organ kerja kehumasan.
Harapan Humas Pengadilan Kedepannya
Di era organisasi modern saat ini peran humas begitu vital dalam menentukan keberhasilan sebuah organisasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan, terlebih jika organisasi tersebut memerlukan partisipasi dan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Tujuan, teknik, alat dan standar etika yang digunakan dalam profesi kehumasan dari waktu ke waktu memang selalu mengalami perubahan sesuai konteks peradaban pada jamannya yang dianggap efektif untuk membangun persepsi masyarakat. Saat ini fungsi humasditujukan untuk membangun pola pikir (mindset) dan pola sikap (attitude) masyarakat melalui pemanfaatan sarana teknologi dan informasi.
Sudah saatnya Mahkamah Agung dan semua badan peradilan ibawahnya melakukan penguatan terhadap tugas dan fungsi kehumasan, baik di bidang SDM dengan memberikan pembekalan khusus bagi para petugas kehumasan, melengkapi sarana dan prasarana terkait dengan fungsi kehumasan, mengalokasikan anggaran secara khusus bagi pelaksanaan tugas-tugas humas serta memberikan keleluasaan dalam mengakses data dan informasi yang ada untuk dipublikasikan kepada masyarakat secara cepat, tepat dan akurat, sehingga kedepannya peran dan fungsi humas pengadilan benar-benar bisa menjadi penopang tegaknya lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Discussion about this post