Nasional I beritabatam.co : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang tunai dan dalam bentuk rekening sejumlah Rp 1,024 miliar dalam penangkapan Bupati Bogor Ade Yasin.
“Dalam kegiatan tangkap tangan ini KPK mengamankan bukti uang dalam pecahan rupiah dengan total Rp 1,024 miliar yang terdiri dari uang tunai sebesar Rp 570 juta dan uang yang ada pada rekening bank dengan jumlah sekitar Rp 454 juta,” ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kamis (28/04/22).
KPK menjerat delapan orang sebagai tersangka. Mereka diduga terlibat tindak pidana suap pengurusan laporan keuangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Jawa Barat tahun anggaran 2021.
Delapan orang tersebut yakni Bupati Bogor Ade Yasin (AY), Sekretaris Dinas PUPR Kab. Bogor Maulana Adam (MA), Kasubid Kas Daerah BPKAD Kab. Bogor Ihsan Ayatullah (IA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas PUPR Kab. Bogor Rizki Taufik (RT). Mereka dijerat sebagai pihak pemberi suap.
Sementara pihak pemberi suap KPK menjerat Kasub Auditorat Jabar III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jabar Anthon Merdiansyah (ATM), Ketua Tim Audit Interim BPK Kab. Bogor Arko Mulawan (AM), serta dua pemeriksa BPK Jabar Hendra Nur Rahmatullah (HNRK) dan Gerri Ginajar Trie Rahmatullah (GGTR).
Firli Bahuri menyebut Ade Yasin menyuap para auditor BPK Jabar agar Kabupaten Bogor menerima predikat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk tahun anggaran 2021 dari BPK.
Firli menuturkan, awalnya tim pemeriksa dari BPK Jabar ditugaskan sepenuhnya mengaudit berbagai pelaksanaan proyek di antaranya pada Dinas PUPR Kabupaten Bogor.
“Selama belasan tahun KPK hadir, sudah berapa kepala daerah yang mengalami OTT. Itu saja tidak membuat yang lain kapok. Ini menjadi keprihatinan kami. Kenapa terus berulang?” ujar Alex dalam keterangannya, Kamis (10/3/2022).
Alex menuturkan, data dari Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2020 menjelaskan soal kebiasaan masyarakat memberikan imbalan atas pelayanan publik yang diterima.
Ada sejumlah hal yang dijadikan alasan seperti ucapan terima kasih 33%, sengaja diminta memberikan 25%, sebagai imbalan layanan lebih cepat 21%, serta tidak diminta, namun umumnya diharapkan memberi sebanyak 17%.
“Hal ini menunjukkan masyarakat bersikap permisif terhadap korupsi atau serba membolehkan,” kata Alex. (Lip)
Discussion about this post