Batam I beritabatam.co : Kerusakan lingkungan yang terlihat secara jelas di areal hutan produksi pulau Rempang tepatnya sepanjang Pantai Kalat tak lagi dapat terbantahkan. Areal hutan produksi itu menyisakan bekas galian yang diduga bekas tambang pasir.
Penelusuran tim MD Kepri yang mengunjungi Pantai Kalat beberapa waktu lalu, menemukan bekas galian berbagai bentuk. Ada yang memanjang seperti parit, ada pula yang berbentuk lingkaran layaknya kolam. Bekas galian itu kini dipenuhi air yang terlihat gelap dan cenderung pekat.
Vegetasi Pantai Kalat memang sangat ideal sebagai habitat hutan mangrove. Tanah bercampur pasir menjadi media subur bagi hutan produksi.
Kerusakan lingkungan hutan produksi Pulau Rempang bermula dari usaha pemanfaatan lahan untuk kebutuhan komersil oleh pihak swasta yang direstui oleh pemerintah baik pusat dan daerah melalui regulasi dan ijin yang diterbitkan.
Sebutlah SK Gubernur Kepri yang menerbitkan Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPJL-PSWA) pada hutan produksi Pulau Rempang, Tanjung Kelinking – Pantai Kalat.
Terlepas dari perusahaan manapun yang mengantongi IUPJL-PSWA, faktanya areal hutan produksi itu kini cukup mengkhawatirkan dari sisi lingkungan.
MD Kepri tak berhasil menemukan usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan sarana wisata alam di areal Pantai Kalat, sebagaimana yang diamanatkan SK Gubernur yang dimaksud.
Tak bermaksud meniadakan. Karena ternyata ada beberapa fasilitas wisata alam yang dikelola mandiri oleh warga setempat. Bukan dikelola profesional oleh perusahaan yang mengantongi IUPJL-PSWA.
Entah bagaimana menghubungankan IUPJL-PSWA yang diterima perusahaan dengan dugaan penambangan pasir di hutan produksi Pantai Kalat. Tapi kerusakan lingkungan di pesisir hutan mangrove itu mulai terlihat setelah terbitnya SK Gubernur Kepri mengenai IUPJL-PSWA.
Azhari Hamid, Ketua DPP, Masyarakat Peduli Laut dan Lingkungan Hidup (MAPELL) yang mendampingi MD Kepri saat mengunjungi Pantai Kalat mengatakan, mangrove menjadi rusak karena adanya penambangan pasir.
“Mangrovenya rusak, pasirnya diambil. Kita belum tau kemana keluarnya. Dalam regulasi Perda Batam yang terbaru tambang pasir di Batam tidak ada. Tidak ada ruang untuk penambangan pasir di Batam,” pungkasnya.
Menurutnya, pesisir Pantai Kalat memang cukup potensial untuk penambangan pasir. Pasir laut yang dikandungnya sangat bernilai. Tapi ancaman kerusakan lingkungan jadi semakin nyata.
“Secara lingkungan kalau pasirnya diambil, pasti bakaunya rusak. Kalau bakau rusak, perkembangan biota laut yang ekonomis bagi masyarakat hilang. Dan untuk mensubstitusi kerusakan alam menjadi penambangan belum tau keberhasilannya,” jelasnya sembari menunjukkan bekas galian yang diduga hasil penambangan pasir di areal itu.
Lalu kapan bermula penambangan pasir di hutan produksi Pantai Kalat? Banyaknya bekas galian di areal itu menunjukan aktivitas sebelumnya mengarah pada bekas pertambangan pasir laut. Meski kini tak ditemukan lagi aktivitas pengerukan pasir, sisa sisa kerusakan lingkungan yang ditinggalkan menjadi ancaman keberlanjutan ekosistem hutan produksi di Pantai Kalat, Pulau Rempang secara luas. (MD)
Discussion about this post