Viral I beritabatam.co : Sosok dan pemikiran Al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filosof Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam. Sehingga, bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh besar terhadap dunia Barat.
Konon, Al-Farabi lahir sekitar tahun 870 M. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Farab. Di kota yang didominasi pengikut mazhab Syafi’iyah itulah Al-Farabi menempuh pendidikan dasarnya. Sejak belia, Al-Farabi sudah dikenal berotak encer alias sangat cerdas. Ia juga memiliki bakat yang begitu besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.
Setelah menyelesaikan studi dasarnya, Al-Farabi hijrah ke Bukhara untuk mempelajari ilmu fikih dan ilmu-ilmu lainnya. Beberapa tahun sebelum kitab-kitab Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Al-Farabi telah menguasai bahasa Syria dan Yunani. Pada 901 M, bersama sang guru, Al-Farabi dia mengembara ke Baghdad yang saat itu menjadi kota metropolis intelektual pada abad pertengahan. Ketika kekhalifahan Al-Muqtadir (908-932), berkuasa, Al-Farabi sempat pula pergi ke Konstantinopel untuk memperdalam filsafat dan singgah di Harran.
Ketika 910-920 M, Al-Farabi kembali ke Baghdad Dengan otaknya yang cemerlang, Al-Farabi membuat terobosan untuk menggabungkan filsafat Platonik dan Aristotelian dengan pengetahuan mengenai Alquran serta beragam ilmu lainnya. Beruntung Al-Farabi bisa menimba ilmu dari sejumlah guru yang mumpuni. Ia belajar filsafat Aristoteles dan logika langsung dari seorang filosof termasyhur Abu Bishr Matta ibnu Yunus.
Kecemerlangan pemikiran Al-Farabi mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika. Sedangkan tata bahasa Arab di pelajarinya dari seorang pakar tata bahasa dan linguistik kondang bernama Abu Bakr ibn Saraj. Selain menguasai filsafat dan bahasa, Al-Farabi juga dikenal sebagai ilmuwan yang berjasa dan memberi kontribusi dalam berbagai bidang ilmu seperti, aritmatika, fisika, kimia, medis, astronomi, dan musik. Akhir tahun 942 M, hengkang dari Baghdad ke Damaskus, karena situasi politik yang memburuk. Selama dua tahun tinggal di Damaskus, pada siang hari Al-Farabi bekerja sebagai penjaga kebun. Sedangkan pada malam hari dia membaca dan menulis karya-karya filsafat. Ia sempat pula hijrah ke Mesir dan lalu kembali lagi ke Damaskus pada 949 M.
Ketika tinggal di Damaskus untuk yang kedua kalinya, Al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah. Saif al-Daulah sangat terkesan dengan Al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Ratusan kitab telah dihasilkan Al-Farabi. Kehidupan sufi yang dijalaninya membuatnya tetap hidup sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Ia tutup usia di Damaskus pada 970 M. Amir Sayf ad-Dawla kemudian membawa jenazahnya dan menguburkannya di Damaskus. Ia dimakamkan di pemakaman Bab as-Saghir yang terletak di dekat makam Muawiyah, yang merupakan pendiri dinasti Ummayah.
Pemikiran Al-Farabi mencangkup beberapa aspek, namun di batasi pada tiga masalah utama, sebagai berikut :
- Kesatuan Filsafat
Menurut Al-Farabi, pemikiran para filsuf Yunani (khususnya Plato dan Aristoteles) pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang sistematik, sehingga tidak terdapat pertentangan di antara kedua tokoh tersebut. Pemikiran ini di tuangkan kedalam karyanya, Al-jam’u Bayna Ra’yay al-Hakimyn : Afalton wa Aristo.
- Ketuhanan
Membicaarakan ketuhanan Al-Farabi mengatakan : “Allah adalah wujud yang tidak mempunyai hole (benda) dan tidak mempunyai form (bentuk) yang sifatnya asli dan tanpa permulaan, serta selalu ada tiada akhir. Untuk membuktikan kesempurnaan wujud tuhan, Al-Farabi membagi wujud dalam dua tingkatan yaitu :
- Wujud yang ada atau mungkin ada karena/ di sebabkan yang lainnya,(al-wujud bighairi)
- Wujud yang mengada dengan sendirinya,( al-wujud binafsihi). (***)
Discussion about this post