Oleh: Fajar L. Suroso
Hakim harus mengabdi pada keadilan, yang itu tercermin dalam putusannya yang bertanggungjawab,yang didasarkan pada tumpuan konsep, dasar hukum, alasan, dan pertimbangan hukum dan non-hukum yang kesemuanya kuat.
Kepada siapa hakim mengabdi? Pertanyaan itu diajukan dosen kami, Syamsul Ma’arif (Hakim Agung) dalam sesi kuliah “Teori Hukum” di kelas Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya pada pertengahan tahun 2015 lalu. Kepada rakyat atau kepada keadilan, tanyanya lebih lanjut. Jawaban kami beragam. Ada yang menjawab: rakyat, dengan basis argumen tertentu. Ada juga yang menjawab: keadilan, juga dengan suatu landasan berpikir tertentu.
Tak berapa lama kemudian, Pak Syamsul memberi jawab, hakim seharusnya mengabdi pada keadilan. Sayangnya, jawaban itu tak disertai penjelasan lebih lanjut. Saya mengernyit dahi, kami pun berisik menyoal jawaban itu. Ada yang setuju, dan tentu saja ada yang tidak. Mendengar jawaban itu, terbersit dalam pikiran saya kata-kata guru saya, Moh. Mahfud MD, dalam salah satu tulisannya. Kata Prof. Mahfud, sallus populi suprema lex, yang artinya: keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Di sini, suara rakyatlah yang supreme. Entah ini ada hubungannya, entah tidak.
Beberapa waktu lalu, dalam diskusi informal dengan wartawati sebuah media nasional, saya mengutip apa yang dikatakan Pak Syamsul, dosen saya itu. Waktu itu saya ditanya perihal arah suatu putusan menjelang suatu pengadilan memutus satu perkara. Putusan pengadilan itu membela siapa, rakyat atau keadilan, tanya si wartawati. Kalau tidak membela rakyat, lalu untuk apa? Kalau membela keadilan, bukankah keadilan ditujukan untuk rakyat? Kesimpulannya, menurut si wartawati, putusan pengadilan pada akhirnya harus memenuhi keadilan rakyat. Apa yang menurut rakyat adil, itulah seharusnya putusan.
Saya mencerna pendapatnya, sambil menyimpan tanya: kira-kira ada atau tidak keadilan yang tak sejalan dengan kehendak rakyat. Dengan kata lain, apakah untuk disebut adil putusan harus selalu bersesuaian dengan kata rakyat? Kalau tidak, berarti putusan pengadilan selamanya akan dianggap tak adil. Jikapun demikian, pertanyaannya lagi, rakyat mana yang diturut? Apakah “suara rakyat” itu terbaca dari opini di koran-koran melalui mulut para pengamat, bekas pejabat penegak hukum, atau para aktifis LSM? Kalau iya, saya segera mahfum, tanpa merefleksi opini publik, sudah pasti putusan dikatakan tidak adil.
Bahkan, karena tak sejalan dengan opini publik, ada pihak yang langsung melaporkan si hakim ke Komisi Yudisial karena diduga melanggar etik yang membuat sistem hukum hilang kredibilitasnya. Rasanya hal itu tidak fair. Alexander Hamilton (1961) dalam tulisannya di The Federalist berpesan, aspek perilaku hendaknya menjadi dasar satu-satunya bagi pemberian sanksi kepada Hakim. Artinya, Hakim tidak dapat dijatuhi sanksi atas dasar putusan yang dikeluarkannya. Hamilton menegaskan, kekeliruan mengambil putusan mungkin saja terjadi, atau bisa saja putusan dirasakan tidak sesuai dengan kehendak rakyat atau nilai-nilai demokrasi.
Akan tetapi sekali lagi, putusan tidak dapat dijadikan dasar bagi pemberian sanksi atas hakim bersangkutan karena akan melanggar asas kemerdekaan yudisial. Jika benar itu terjadi, prinsip independensi hakim sedang dalam ancaman serius. Bilamana itu terjadi sama halnya dengan lonceng isyarat bagi rusaknya negara hukum. Sebab, kata William F.B. Kelly (2005), suatu “negara hukum” mensyaratkan adanya hakim yang tidak takut atau khawatir atas akibat atau pembalasan dari pihak luar yang dikarenakan oleh putusannya.
Oleh karena itu, meskipun sudah sangat sering ditulis, saya kembali tergelitik untuk mendudukkan secara semestinya opini publik ketika berhadapan vis a vis dengan putusan pengadilan. Apakah harus sejalan? Atau, jika putusan dimungkinkan tak sejalan, mungkinkah tanpa diikuti cemoohan kepada hakim yang memutus? Ini pertanyaan krusial dan mendasar.
Fakta-Fakta Praktik
Dalam kajian empirik, baik di aras domestik maupun global, sejumlah penstudi hukum menemukan kuatnya determinasi opini publik ke dalam putusan pengadilan. Merujuk pada praktik U.S. Supreme Court, pertanyaan haruskah putusan mencerminkan opini publik Amerika, menjadi bahan perdebatan selama lebih dari dua abad dan kemungkinan besar akan terus terjadi. Sebuah tulisan menyebutkan, dari tahun 1930-an sampai pertengahan 1980-an, sebagian besar putusan U.S. Supreme Court mencerminkan opini publik Amerika.
Cecille Galiano (1978) menyatakan, ada hubungan antara hukum sebagaimana yang dinyatakan dalam keputusan Mahkamah Agung dan opini publik. Demikian pula, penelitian Lee Epstein dan Andrew D. Martin (2012) menemukan adanya hubungan antara suasana hati masyarakat dan putusan pengadilan. Hakim-hakim cenderung sensitif terhadap kemungkinan reaksi balik publik atas putusan yang tak senada dengan opini publik.
Menurut Kristen Rosano (2014) ada dua penjelasan untuk hal tersebut, (1) penjelasan dari perspektif perilaku strategis (the strategic behavior explanation), hakim dengan sengaja memperhatikan opini publik untuk menjaga legitimasi mereka di mata publik; dan (2) penjelasan dari sisi perubahan sikap (the attitudinal change explanation), hakim cenderung memilih bersama publik hanya karena mereka tunduk pada kekuatan sosial yang sama. Rosano menegaskan, U.S. Supreme Court bukanlah penafsir hukum yang tidak bias dan robotik. Ia mirip cairan tubuh yang dapat merespons situasi dunia nyata, seperti halnya manusia sungguhan.
Menarik juga yang dikemukakan Matthew Hall (2015), putusan U.S. Supreme Court dipengaruhi dan menuruti opini publik, terutama pada kasus dimana hakim khawatir jika putusannya tidak dilaksanakan atau mendapat penolakan. Lebih lanjut, jika pemberitaan media efektif membangun opini publik, Thomas Ciesielka (2016) dalam presentasinya, Can Public Opinion Sway Court Decisions? menyebut sebuah studi di Universitas Stanford menemukan fakta bahwa ketika sebuah kasus yang mendapatkan sejumlah besar pemberitaan media, membuat hakim cenderung menjatuhkan hukuman lebih keras ketimbang jika kasusnya kurang dipublikasikan.
Dari praktik domestik, sebuah penelitian di Universitas Hasanuddin (2014) yang dilakukan Wiwie Heryani, dkk, menunjukkan bahwa opini publik yang mempersesuasi dan paling berpengaruh signifikan, langsung atau tidak langsung, terhadap putusan hakim adalah opini publik melalui (1) demonstrasi, baik berupa tekanan-tekanan/presure selama persidangan maupun demonstrasi yang anarkhis dianggap membahayakan jiwa keselamatan hakim, dan (2) media cetak maupun media elektronik. Tekanan demonstrasi dan pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh politik, LSM, serta tokoh-tokoh lainnya, ternyata opininya mempunyai dampak dan mempengaruhi hakim dalam membuat putusan.
Jadi, dari ranah empirik dapat dikatakan, opini publik tampak jelas memiliki efek nyata bagi hakim dan putusan pengadilan. Dalam bahasa Bagir Manan (2009), hakim-hakim dengan putusan demikian sangat mungkin menganut konsep atau teori yang dipengaruhi pandangan sosial mengenai hukum. Menurut mereka, hakim yang baik adalah hakim yang memutus sesuai tuntutan sosial dalam masyarakat yang umumnya tercermin dalam opini publik. Menurut pandangan ini, ketentuan hukum harus dinomorduakan. Tidak dibenarkan hakim memutus hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Hal yang terutama ialah putusan harus sebesar mungkin mencerminkan keinginan, kenyataan, atau kepentingan publik. Hakim yang menekankan kepastian hukum tidak mendapatkan ruang di sini. Hakim yang memutus menurut hukum dan memahami bahwa hukum adalah hukum, terlepas dari penilaian baik atau buruk, menjadi “lawan” laten yang harus ditolak keberadaannya.
Putusan Dapat Dipertanggungjawabkan
Pertanyaannya sekarang, how to be a good judge? Manakah yang layak disebut hakim yang baik, apakah hakim yang terlalu social oriented atau hakim yang menekankan kepastian hukum alias hakim yang terlalu normatif? Dari perspektif intelektual, agak sulit menemukan jawaban mana hakim yang baik. Ada jawaban ideal: hakim yang baik ialah hakim yang mampu memutus dengan memadukan: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Kata Bagir Manan (2009), jawaban ideal macam ini hanya memberikan penyelesaian rohaniah atau konseptual belaka, tetapi mustahil ditarik ke alam kenyataan.
Untuk menemukan who is a good judge, nampaknya perlu keluar dari kedua konsep itu. Tawarannya, hakim yang baik ialah hakim yang memutus dengan putusan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan. Putusan yang yang bertanggungjawab menurut Bagir Manan (2009) adalah putusan yang mempunyai tumpuan konsep yang kuat, dasar hukum yang kuat, alasan-alasan, dan pertimbangan-pertimbangan, baik hukum maupun non-hukum, yang juga kuat.
Putusan macam ini tidak berurusan dengan memuaskan atau tidak memuaskan, mengakomodir atau tidak opini mayoritas publik yang kedengaran, menyenangkan atau tidak. Silahkan orang berbeda pendapat atau mendebat, tetapi tidak ada yang dapat menyalahkan karena putusan didasarkan pada tumpuan konsep, dasar hukum, alasan, dan pertimbangan yang kesemuanya kuat. Harus dibedakan antara pertanggungjawaban dengan rasa puas atau tak puas terhadap putusan. Pertanggungjawaban milik hakim, sementara puas tak puas menjadi urusan pencari keadilan atau publik.
Antara pencari keadilan dan publik pun acapkali tak satu suara. Adakalanya putusan memuaskan pencari keadilan dan tidak sejalan dengan opini publik, atau bisa sebaliknya. Namun harus diingat, kepentingan suatu perkara (putusan) adalah kepentingan pencari keadilan. Masih menurut Bagir Manan (2009), manakala ada pertentangan, hakim wajib mengutamakan kepentingan pencari keadilan, karena merekalah yang sedang menuntut keadilan. Merekalah yang secara langsung menerima konsekuensi putusan. Adalah suatu konsekuensi jika publik tak merasa puas, terlebih karena opininya tak diindahkan. Apalagi, bukankah putusan pengadilan tak mungkin bisa memuaskan semua pihak?
Memosisikan Opini Publik
Opini publik tak bisa dielakkan. Sebab harus diakui, opini publik yang mewarnai suatu perkara merupakan cerminan daya kritis publik terhadap hukum. Daya kritis dan hak berpendapat publik terhadap putusan pengadilan tak boleh dibunuh. Namun, harus dibedakan antara ekspresi daya kritis dengan cemoohan gegara opininya tak diindahkan. Apalagi memanfaatkan kekuatan opini publik untuk membentuk rasa tidak percaya, bahkan mungkin antipati terhadap pengadilan dan hakim yang memutus. Hal itu bisa dirasakan intensinya.
Bagi hakim, opini publik tak perlu dirisaukan. Ia boleh diikuti boleh juga tidak. Malahan, ada yang mengatakan, putusan hebat adalah putusan yang berani bertentangan dengan opini publik, bahkan bisa memengaruhi atau mengubah opini publik. Hakim harus benar-benar adil dalam menjatuhkan putusan secara adil, dalam arti putusannya dapat dipertanggungjawabkan. Sekali lagi, karena putusan itu didasarkan pada tumpuan konsep, dasar hukum, alasan, dan pertimbangan yang kuat. Kata kuncinya, opini publik lebih menekankan pada social justice, sedangkan penegakan hukum bertujuan menciptakan legal justice.
Jangan sampai hakim tersesat memutus atas dasar fakta-fakta yang imajinatif dan fiktif karena terbawa larut oleh opini publik. Hakim harus independen. Hakim yang independen kata Lubet (1998) ialah hakim yang memutus berdasarkan kejujuran (good faith), berdasarkan hukum sebagaimana yang diketahuinya, tanpa menghiraukan akibat yang bersifat personal, politis ataupun finansial.
Untuk itu, penting bagi hakim dan tentu bagi kita semua, untuk memosisikan opini publik dalam kurva positif bahwa publik mengawal proses penyelesaian perkara. Sebatas itu saja, tidak lebih. Jadi, jikapun putusan dipandang tak mencerminkan opini publik, didebat boleh, akan tetapi tak patut menyalahkannya, karena putusannya tergolong ke putusan yang bertanggungjawab. Terlebih lagi jika pengadilan sudah digelar terbuka dan memiliki akses untuk dimonitor secara mudah dan luas oleh publik, tidak ada alasan bagi munculnya kalimat atau meme-meme sarkastik yang cenderung menyerang integritas atau merendahkan martabat hakim sekaligus putusan sebagai mahkotanya.
Akhirnya, ketemu juga jawaban atas pertanyaan: kepada siapa hakim mengabdi? Uraian di atas menegaskan, hakim harus mengabdi pada keadilan, yang itu tercermin dalam putusannya yang bertanggungjawab, yang didasarkan pada tumpuan konsep, dasar hukum, alasan, dan pertimbangan hukum dan non-hukum yang kesemuanya kuat. Untuk betul-betul mengabdi pada keadilan, hakim tak boleh terbawa, apalagi menghamba buta pada opini publik.
Dr. Fajar Laksono Suroso adalah Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya.
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi
Discussion about this post