Jakarta | beritabatam.co : Menyusul wafatnya Jamaluddin, Hakim PN Medan secara mengenaskan, Jum’at (29/11/2019), Mahkamah Agung selain menuntut pengungkapan pelaku oleh aparat keamanan juga berusaha melakukan langkah-langkah preventif agar hal serupa tidak menimpa para pengadilan lainnya. Salah satunya adalah dengan membangun koordinasi dan komunikasi dengan Komisi Yudisial.
Dalam pertemuan koordinasi yang berlangsung di Gedung Komisi Yudisial, Kamis (12/12/2019) tersebut, Mahkamah Agung diwakili oleh Sekretaris Mahkamah Agung, A. S. Pudjoharsoyo didampingi Kepala Biro Perencanaan, Joko Upoyo Pribadi, Kepala Biro Hukum dan Humas, Abdullah, serta Kabag Perencanaan Program, Arifin Syamsul Rijal. Sementara dari Komisi Yudisial hadir Komisioner yang sekaligus menjabat Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim, Joko Sasmito dengan didampingi Kepala Biro Perencanaan dan Kepatuhan Internal, Jamain dan Kasubag Peningkatan Kapasitas Hakim, Ariefa Nursyamsiah.
Mengawali pembicaraan, Joko Sasmito menyampaikan banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap hakim yang mengakibatkan pengadil-pengadil meregang nyawa atau menyalami kekerasan fisik. Ia mencontohkan dengan kematian Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, kematian Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo, M. Taufik, termasuk aksi penyerangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menggunakan ikat pinggang yang dilakukan oleh seorang pengacara.
“Dengan rentetan kejadian pemukulan hakim di ruang sidang dan pembunuhan hakim, dapat dikatakan keamanan hakim menjadi sangat penting untuk dibahas dan diwujudkan,” ujar mantan Wakil Ketua Pengadilan Militer II-08 Jakarta itu.
Terkait dengan persoalan tersebut, Joko mengusulkan penggunaan Pasal 47 ayat (2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan pada kantor yang membidangi bidang politik dan keamanan, termasuk Mahkamah Agung.
“Selain itu, dimungkinkan untuk mengambil pembelajaran dari negara lain, seperti US Marshal yang berperan sebagai polisi pengadilan di Amerika Serikat,” imbuh Joko.
Jaminan Keamanan bagian dari Hak Fasilitas Hakim
Sementara itu dalam pemaparannya, Sekretaris Mahkamah Agung, A. S. Pudjoharsoyo mengingatkan bahwa jaminan keamanan hakim merupakan bagian dari hak keuangan dan fasilitas hakim yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Jika dilihat keamanan secara umum, maka apabila negara memenuhi tunjangan rumah, kesehatan, dan transportasi, maka akan berpengaruh kepada keamanan hakim secara umum.
Terkait dengan regulasi mengenai jaminan keamanan hakim, Pudjoharsoyo menilai sudah cukup jelas bagaimana peraturan perundang-undangan memberikan pengaturan. “Dari sisi regulasi, permasalahan jaminan keamanan hakim sudah cukup jelas,” ujar Pudjoharsoyo.
Sejumlah paraturan perundang-undangan memang mengatur secara jelas persoalan jaminan terhadap keamanan hakim, mulai dari Undang-Undang Kekuasaan kehakiman sampai undang-undang generik yang mengatur masing-masing lingkungan peradilan. “Bahkan, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 secara jelas menempatkan jaminan keamanan sebagai hak fasilitas hakim,” tegas Hakim Tinggi Tanjung Karang tersebut.
Dengan kondisi tersebut, lanjut Pudjoharsoyo, tidak diperlukan regulasi baru, kecuali aturan-aturan yang bersifat teknis operasional yang kedudukannya berada dibawah Undang-Undang. “Boleh jadi berbentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden,” ujar pria kelahiran Semarang itu.
Menanggapi usulan Komisi Yudisial terkait penggunaan prajurit aktif untuk pengamanan hakim, Pudjoharosoyo memandang usulan tersebut memerlukan kajian tersendiri. Pasalnya, selama ini di Mahkamah Agung terdapat prajurit-prajurit aktif yang menduduki jabatan yang berasal dari dua instansi yang berbeda, yakni berasal dari Markas Besar TNI dan Pengadilan Militer Utama.
“Selain perlakuan secara finansial berbeda, kemungkinan penempatan tersebut hanya di pusat dan daerah-daerah yang memiliki pengadilan militer utama, padahal hakim-hakim yang ada mayoritas berada di pengadilan tingkat pertama,” ujarnya menjelaskan.
Sementara untuk mengembangkan polisi pengadilan seperti halnya US Marshal di Amerika Serikat, Pudjoharsoyo menilai kemungkinannya kecil mengingat lembaga seperti itu akan berada di luar kepolisian. “Di Indonesia, bahkan Satuan Pengamanan (Satpam) pembinanya berasal dari kepolisian,” papar Pudjoharsoyo.
Kerjasama MA-KY pada Masalah Teknis Bidang-Bidang Non-Teknis
Baik MA maupun KY mengaku bergembira dengan pertemuan kali ini dan menilai bahwa pertemuan kali ini baru merupakan pertemuan pembukaan yang perlu ditindak lanjuti di masa yang akan datang. Untuk memastikan keberlanjutan pembahasan mengenai jaminan keamanan hakim ini. Pudjoharsoyo menilai perlu dilakukan langkah-langkah konkret antara kedua institusi.
Selama ini, menurut Pudjoharsoyo hubungan kerjasama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung masih terbatas pada tataran pimpinan Mahkamah Agung dan komisioner Komisi Yudisial dan belum menjangkau jajaran yang lebih teknis, sehingga dikhawatirkan keberlanjutan pembahasan masalah jaminan keamanan hakim ini hanya akan bersifat wacana saja.
Untuk itu, beranjak dari kenyataan bahwa leading sector pelaksanaan hak keuangan dan fasilitas ini berada di ranah kesekretariatan Mahkamah Agung,
Pudjoharsoyo mengusulkan adanya nota kesepahaman antara pimpinan lembaga khusus berkait dengan keamanan hakim. Berbekal nota kesepahaman tersebut, atas arahan dari pimpinan Mahkamah Agung dan komisioner Komisi Yudisial, kesekretariatan Mahkamah Agung dan kesekjenan Komisi Yudisial dapat mengembangkan perjanjian kerjasama untuk melahirkan hal-hal yang bersifat teknis. Dan ini disebutnya sebagai kerjasama mengenai hal-hal teknis di bidang non teknis peradilan.
“Dan hal ini belum banyak disentuh oleh kedua belah pihak,” ungkap Pudjoharsoyo memberikan penilaian.
Padahal, lanjutnya, dengan pengalaman dan pemahaman Kesekretariatan Mahkamah Agung terkait dengan masalah-masalah sumber daya manusia, keuangan dan infrastruktur, apabila didukung secara politis oleh Komisi Yudisial, harapan untuk meningkatkan kesejahteraan hakim dan memberikan jaminan keamanan bagi hakim itu bukan isapan jempol semata.
Menanggapi ajakan Sekretaris Mahkamah Agung tersebut, Joko Sasmito menyambut baik dan bersedia melakukan langkah-langkah terbaik untuk mewujudkan kerjasama tersebut.
“Saya memang salah satu komisioner yang kerap mengharapkan komunikasi yang lebih intensif antara MA-KY,” ungkapnya menjelaskan. Komunikasi tersebut lanjut Joko, mengingat tugas pokok masing-masing institusi tidak jauh berbada. “Masing-masung ingin mewujudkan peradilan yang bersih dan bermartabat,” tegas Joko.
Karena itu ia berharap ke depan Komisi Yudisial jangan dipandang hanya sebagai lembaga eksternal, yang tugasnya mengawasi hakim, tetapi lembaga yang juga mempunyai tugas dan tanggung jawab serta bermitra dalam peningkatan kapasitas dan kesehajteraan hakim, termasuk keamanan hakim. (Humas/Mohammad Noor)
Discussion about this post