
Oleh Muhammad Choirin
Adalah seorang tokoh besar sufi dari negeri Khurasan. Hatim bin Alwan nama aslinya. Abu Abdurrahman panggilannya dan Hatim yang tuli (Hatim al-Asham) nama populernya. Ia adalah murid kesayangan Imam Syaqiq dan kemudian menjadi guru bagi Imam Ahmad bin Khadrawaih.
Imam al-Qusyairi al-Naisaburi dalam al-Risalah al-Qusyairiyah fi Ilmi al-Tasawwuf mengisahkan bahwa sebenarnya ia bukanlah seorang yang buta (al-asham), tapi kepura-puraanya menjadi tulilah yang kemudian ia mendapat julukan tersebut.

Terkait sebab julukan ini, Abu Ali al-Daqqaq menceritakan, suatu ketika datanglah seorang wanita menemui Imam Hatim bin Alwan untuk meminta petuah permasalahan. Pada saat wanita menyampaikan kemusykilan itulah, tak sengaja sang wanita mengeluarkan bunyi kentut. Sontak, ia merasa malu dengan bunyi kentutnya.
Melihat roman muka wanita tersebut berubah karena malu, Imam Hatim pun berkata: “Kurang jelas. Boleh keraskan suaramu?” Imam Hatim mencairkan suasana dengan menampakkan dirinya seorang yang tuli.
Merasa Imam Hatim tidak mendengar, maka wanita tersebut senang bukan kepalang lantaran tak jadi menanggung malu karena suara kentutnya tak didengar oleh sang Imam. Dengan penuh percaya diri, ia mengatakan, “Sungguh Imam Hatim tidak dapat mendengar.”
Sejak peristiwa itu, Imam Hatim dijuluki sebagai Imam Hatim yang tuli (al-asham).
Dari kisah di atas, sejatinya Imam Hatim sedang mengajarkan kepada kita tentang hakikat kehidupan. Hidup ini bukan tentang mempertahankan harga diri untuk mencapai kebahagiaan pribadi, tapi juga tentang keinsafan menghadirkan kebahagiaan bagi sesama.
Bagi Imam Hatim, tak mengapa dirinya dinilai negatif selama kehadirannya membawa kebahagian bagi orang lain (Idkhal al-Surur). Rasulullah SAW bersabda, “Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah kebahagiaan yang engkau berikan kepada diri seorang Muslim.” (HR al-Thabrani).
Dalam konteks kehidupan rumah tangga, pasangan suami istri dapat dapat menghadirkan kebahagiaan dengan cara saling bersuapan. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah kecuali kamu akan diberi pahala termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” (HR Bukhari).
Membantu meringankan beban hidup sesama adalah sebuah kebajikan yang dapat menghadirkan kebahagiaan. Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang yang menolong orang lain naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah bernilai sedekah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Seorang mukmin senantiasa berfikir untuk menghadirkan kebahagiaan bagi sesama. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa diterima orang lain.” (HR Baihaqi).
Imam Ibnu al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin menyatakan bahwa hamba Allah yang sejati adalah yang beramal sesuai dengan kehendak Allah, meski bertentangan dengan kehendak dirinya. Meski tidak sesuai dengan ego pribadinya, ia akan senantiasa menghadirkan kebahagiaan pada sesama.
Wallahu a’lam bissawab.
Tulisan Asli Baca disini!
Discussion about this post