
Jakarta I beritabatam.co : Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Administrasi Jakarta Timur mengadakan acara Dialog Kerukunan Umat Beragama dengan mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) Jakarta, Senin, (16/01/23), bertempat di kantor Sekretariat FKUB Kota Administrasi Jakarta Timur, Gedung D lt 7, Kantor Walikota Kota Administrasi Jakarta Timur.
Dalam dialog bertindak sebagai host, KH. Zainuri HZ, Wakil Ketua FKUB Kota Administrasi Jakarta Timur. Dan narasumber adalah KH. Ma’arif Fuadi, MA, Ketua FKUB Kota Administrasi Jakarta Timur dan perwakilan dari agama Islam, Pdt. Hosea Sudarna, S.th Ketua PGI Kota Jakarta Timur, perwakilan dari agama Protestan, Fransiskus Dwikoco, Sekretaris Komisi Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Jakarta, perwakilan dari agama Katolik, I Ketut Wartika, Ketua PHDI Jakarta Timur, perwakilan agama Hindu, dan Alvin Septian Virdya, dari Matakin, perwakilan agama Konghucu. Sementara dari mahasiswa, hadir Reza Ashori, M Irham B dan Fatih Fauziyyah, ketiganya mahasiswa program studi Teknik Informatika, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta Timur.
Menjawab pertanyaan bagaimana mewujudkan sikap tolerasi terhadap agama lain supaya tidak terjadi perpecahan antar agama? KH. Ma’arif, MA menjawab, sikap dalam toleransi beragama itu adalah menghargai perbedaan yang ada. Masing masing agama tentu memiliki kebenaran masing-masing. Toleransi beragama tidak menuntut dari kita semua menjadi sama, baru kita bersedia saling menerima. Toleransi beragama yang sebenarnya adalah menerima dan mengakui keberadaan pemeluk agama yang berlainan dengan kita. Menghormati dan menghargai terhadap identitas masing-masing agama yang tidak sama. Toleransi berarti bahwa meskipun saya tidak membenarkan dan mengikuti keyakinan dan kepercayaan anda, namun saya sepenuhnya menerima anda dan bersedia bekerja sama dengan anda.

Toleransi terhadap agama lain itu tidak dengan harus berkeyakinan bahwa semua agama sama, semua agama benar. Karena faktanya semua agama tidak sama dan masing-masing memiliki kebenaran sendiri sesuai yang diyakininya. Sikap yang tepat adalah mengakui ketidaksamaan itu dan menghormatinya. Kita menghargai perbedaan itu, tanpa kita harus ikut dalam perbedaan itu.
“Perbedaan itu diciptakan Tuhan, seandainya Tuhan mau menciptakan agama itu satu saja. Pasti Tuhan bisa. Tetapi ternyata berdasarkan kehendak Nya, Tuhan menciptakan agama yang berbeda-beda. Nah dengan memahami bahwa perbedaan itu diciptakan Tuhan, maka orang harus menghargai perbedaan itu karena perbedaan itu kemauan Tuhan, perbedaan itu kehendak tuhan. Jika kita memaksa semua orang harus sama dengan kita maka itu berarti kita mengingkari kehendak Tuhan,” ujarnya.
Fransiskus Dwikoco, perwakilan agama Katolik ikut memberikan penjelasan bahwa istilah mayoritas dan minoritas lebih baik tidak digunakan.
“Kami memang tidak memakai istilah mayoritas dan minoritas. Negara kita ini adalah negara hukum, sama dalam pandangan hukum. Bahwa kita memiliki 4 pilar kebangsaan. Dan Bhineka Tunggal Ika ini yang menyatukan kita,” ucapnya.
Demikian juga dengan I Ketut Wartika, mewakili agama hindu menambahkan, bahwa kita semua bersaudara.
“Kami tidak mengenal istilah mayoritas dan minoritas, karena dalam agama kami dikenal Vasudhaiva Kutumbakam. Bahwa kita semua di dunia ini bersaudara, satu keluarga tunggal tanpa membedakan agama, suku, bahasa, bangsa, budaya, tradisi, warna kulit. Semua manusia atau mahluk hidup memiliki esensi yang sama dan berasal dari sumber yang sama. Kita semua bersaudara, kita semua ciptaan tuhan, kita sama. Bahwa keindahan, keanekaragaman itulah yang menciptakan keindahan,” pungkas Ketua PHDI Jakarta Timur ini.
Alvin Septian Virdya yang mewakili agama Konghucu menjawab, bahwa dalam agama Konghucu dikenal ayat bahwa empat penjuru lautan semua umat bersaudara.
“Mau agama apapun kita adalah saudara. Perihal minoritas dan mayoritas kita kesampingkan dulu. Apa yang diri sendiri tidak inginkan, maka jangan lakukan kepada orang lain,” pungkas Alvin.
Lalu dalam menanggapi kelompok yang cenderung sangat fanatik dengan landasan dan ideologi dalam agama yang bisa membuat keresahan ditengah masyarakat, KH. Ma’arif, MA, menjelaskan bahwa agama itu tidak kaku, agama dapat dijalankan tanpa membuat orang menjadi rugi.
“Secara umum ajaran agama itu mengajarkan kebaikan dan kasih sayang. Tugas kita bersama untuk mengedukasi ajaran agama sesuai ajaran masing-masing. Karena dalam prakteknya ada pemahaman yang tidak sesuai dengan ajaran yang sebenarnya. Kalau dalam islam bisa saja tidak sesuai dengan ajaran Alqur’an maupun Rasulullah SAW. Dan kalau tindakan sudah merugikan, maka pemerintah tidak boleh tinggal diam. Tidak boleh memberikan kelompok kelompok seperti ini untuk eksis. Sikap intoleransi yang mengajak tindakan teror atau makar, maka pemerintah harus bertindak tegas,” paparnya.
Pada pertanyaan lain, menanggapi penutupan akses jalan yang digunakan untuk kepentingan acara keagamaan, Fransiskus Dwikoco memberikan pandangan, kalau acara keagamaan tentu kami mendukung. Tapi tentu ada koordinasi. Misalnya apakah ada jalan alternatif. Kita mendukung dan mengerti.
I Ketut Wartika menambahkan, dari kami tidak pernah merasa keberatan. Karena memang umat lain tengah menjalankan ibadahnya.
“Tentunya panitia melakukan koordinasi terlebih dahulu. Memang kadang kadang ada arogansi, tapi itu tentu oknum saja. Intinya kami mendukung terkait dengan acara keagamaan,” sebutnya.
Pdt Hosea Sudarna, mengatakan cukup bisa memahami kondisi seperti itu.
“Karena tidak semua tempat ibadah dapat menampung untuk acara acara tertentu. Koordinasi yang perlu dikelola, tidak harus muncul dari teman teman muslim. Tapi tentu baik juga bila ada koordinasi dari teman teman muslim. Sama sama kita mengerti dan mendukung membangun pemeliharaan kerukunan kita bersama,” jelasnya.

(16/01/23)
Foto: FKUB Jakarta Timur
Dan KH. Ma’arif, MA menjelaskan bahwa penutupan akses jalan yang digunakan untuk kepentingan acara keagamaan atau kegiatan bersifat pribadi seperti untuk pesta perkawinan, kematian, atau kegiatan lainnya dibolehkan. Jalan yang dimaksud di sini mencakup jalan kota, kabupaten, maupun jalan desa.
“Ada Peraturan Kapolri nomor 10 tahun 2012 tentang pengaturan lalu lintas dalam keadaan tertentu dan penggunaan jalan selain kegiatan lalu lintas. Selain itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan (PP 43/1993). Dalam peraturan tersebut di jelaskan penggunaan jalan untuk kegiatan selain lalu lintas harus mendapatkan izin dari kepolisian dan pemerintah setempat. Bahkan ketika penggunaan jalan ini sampai menutup ruas jalan, pejabat yang berwenang juga dapat memberikan izin agar menempatkan petugasnya untuk menjaga keselamatan dan kelancaran lalu lintas”, jelasnya.
Dan pertanyaan terakhir dari mahasiswa Unindra mengenai kasus bom bunuh diri mengatasnamakan agama?. Dengan tegas KH. Ma’arif, MA menjawab, hal tersebut jelas adalah kesalahan.
“Kalau ada orang yang melakukan bom bunuh diri yang mengatasnamakan agama, sudah pasti tidak benar. Karena tidak ada agama yang mengajarkan bom bunuh diri dan mencelakakan orang. Itu terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan ajaran agamanya. Ini sudah pasti tidak benar,” tegasnya.
Demikian juga dengan Fransiskus Dwikoco, yang menyebut hal tersebut pasti tindakan oknum.
“Orang seperti inilah yang salah, ini adalah oknum. Ini yang salah pasti orangnya bukan ajaran agamanya,” sebutnya.
Pdt. Hosea Sudarna, S.th juga menyatakan bahwa, ini sudah pasti tidak benar.
”Ini memang perlu ditolong, perlu diluruskan pemahamannya. Hidup ini kan bukan kita yang punya, tuhan yang memberikan kehidupan. Jelas ini adalah salah. Dimana letaknya mengasihi diri sendiri,” pungkasnya.
I Ketut Wartika mengatakan agama itu tidak perlu dimoderasikan, karena agama sudah moderat. Yang perlu di moderasi cara kita melaksanakan agama itu sendiri.
“Kita ini negara besar, sumber alam kita banyak, hanya kemampuan kita yang belum maksimal. Kita harus hati-hati, banyak negara yang mengincar kita dengan cara memecah belah kita. Ini yang harus kita sadari. Persatuan kita mau dihancurkan. Kita harus menjaga NKRI” pesan I Ketut Wartika.
Dan terakhir, Alvin Septian Virdya menjelaskan bahwa semua agama itu mengajarkan hal hal yang baik. Tapi kalau pikiran kita tersesat, maka bisa berbuat sesuatu yang salah.
“Maka seorang kungchu selalu damai dalam menerima firman, sedangkan orang yang rendah budi melakukan perbuatan sesat untuk memuaskan nafsunya sendiri. Bisa dibilang orang yang melakukan bom bunuh diri, adalah egois dan merugikan orang lain, Sebagai orang beragama, kita harus bisa menerima firman. Tapi bukan untuk memuaskan ego sendiri,” pungkasnya. [***]
Discussion about this post