
Jakarta | beritabatam.co : Transformasi Jakarta menuju kota global tak dapat dipungkiri menjadi bagian dari narasi besar modernisasi Indonesia. Gedung-gedung pencakar langit, apartemen mewah, mall elite, dan kawasan perumahan eksklusif membentuk lanskap kota yang terhubung erat dengan arus modal dan globalisasi. Namun di balik kemilau pembangunan tersebut, muncul pertanyaan fundamental: untuk siapa kota ini dibangun? Siapa yang sungguh memiliki hak atas Jakarta?
Pertanyaan tersebut menjadi inti kritik Dr. Halimatusa’diah, M.Si, Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN, dalam kajian berjudul FiKih Kota Global: Studi Pembangunan Kota Global dari Perspektif Sosial Budaya. Hal ini ia ungkapkan saat menjadi narasumber di Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) II Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta di Hotel Mercure Ancol, Rabu (18/6/2025).
Ia mengatakan lewat pendekatan yang memadukan analisis, sosial, dan nilai-nilai Islam urban, ia mengajak publik untuk melihat realitas Jakarta bukan hanya dari statistik dan indeks global, tetapi dari kehidupan warga yang hidup dalam bayang-bayang eksklusi.

“Menteng adalah cermin dari ketimpangan ekstrem,” ujarnya. Di kawasan elite yang sarat sejarah ini, berdiri rumah-rumah mewah yang berbagi batas langsung dengan kampung-kampung padat yang nyaris tak bersentuhan secara sosial maupun struktural. Di Pondok Indah, Jakarta Selatan, narasi serupa muncul ‘oasis elite yang tertutup’, dikelilingi oleh warga lokal yang hanya menjadi penonton pembangunan, bukan bagian darinya.
“Contoh lain, mal mewah Seasons City berdiri megah layaknya benteng konsumsi modern. Namun hanya beberapa meter dari sana, ribuan warga tinggal di permukiman padat dan informal. Bentang kota ini mengungkapkan kenyataan pahit bahwa Jakarta hari ini lebih merupakan kota untuk berbelanja ketimbang kota untuk semua,” tuturnya.
Ia melanjutkan bahwa jurang sosial dan spasial Jakarta bisa dengan mudah ditangkap dari udara. apartemen tinggi berdampingan dengan kampung sengketa, seperti lapangan golf luas di tengah kota kontras dengan perumahan kumuh di sekelilingnya. Jakarta menampilkan wajah ganda yang menyakitkan, kota global yang terhubung ke arus modal vs. Jakarta informal yang hidup dalam ketidakpastian dan kerja rentan.
“Struktur kota tidak netral. Tata ruang kita berpihak pada kapital, bukan rakyat. Kampung seringkali dianggap sebagai entitas ilegal, padahal keberadaannya adalah hasil dari distribusi ruang yang timpang dan warisan sejarah ketidakadilan,” tegasnya.
Ketimpangan fisik dan sosial ini juga berdampak langsung pada budaya spiritual umat Muslim yang merupakan mayoritas urban terbesar di dunia. Data 2024 mencatat bahwa dari total penduduk DKI Jakarta, 87,36 persen beragama Islam, disusul oleh Protestan (8,97%), Katolik (4,07%), Buddha (3,61%), Hindu (0,19%), dan Konghucu (0,02%).
Namun pertanyaannya, di mana posisi nilai-nilai Islam lokal dalam proyek pembangunan kota global ini?
Halimatusa’diah menyoroti bagaimana proyek modernisasi seringkali menggerus ruang budaya dan spiritual umat, yang dahulu menjadi perekat sosial masyarakat. “Halaman bersama tempat orang saling mengenal dan berbagi kini diganti oleh pagar tinggi dan ruang privat,” ungkapnya.
Ia mengkaji lima aspek strategis yang menunjukkan bagaimana modernisasi kota justru menjauh dari prinsip keadilan sosial dan nilai Islam urban:
1. Erosi Ruang Komunal
Ruang berkumpul masyarakat makin sempit. Halaman masjid, lapangan, atau pelataran umum yang dulu jadi ruang interaksi sosial kini terpinggirkan oleh pembangunan vertikal.
2. Ruang Spiritual dan Ibadah
Suara azan yang dulunya menyatu dengan denyut kota kini terkurung dalam isolasi akustik. Banyak masjid berada di tengah kawasan komersial yang sulit diakses, apalagi bagi warga dengan mobilitas terbatas.
3. Ikatan Komunal yang Melemah
Fragmentasi sosial terlihat dengan jelas dan solidaritas keagamaan yang dulu mengakar kini tergantikan oleh gaya hidup individualistik yang eksklusif.
4. Tradisi Islam Betawi yang Menyusut
Perayaan kolektif seperti maulid, tahlilan, hingga tradisi tumpengan makin jarang ditemukan. Ruang publik makin steril dari ekspresi budaya Islam lokal.
5. Ketimpangan Akses terhadap Masjid dan Fasilitas Keagamaan
Tata kota yang tidak berpihak membuat warga miskin sering kali tidak memiliki akses mudah ke masjid atau kegiatan keagamaan. Padahal, spiritualitas adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan urban Muslim.
Ia melanjutkan bahwa kajian ini menyuarakan urgensi membangun kota bukan hanya dari sisi ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga dari prinsip keadilan spasial dan nilai fiqih sosial. Halimatusa’diah menekankan, pembangunan Jakarta tidak boleh melulu berdasarkan logika akumulasi kapital, tapi harus berakar pada maqashid syariah—yakni perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan—yang diterjemahkan dalam tata kota inklusif dan manusiawi.
“Di tengah desakan menjadi kota global, Jakarta dihadapkan pada pilihan besar menjadi kota untuk segelintir orang atau kota yang mampu memanusiakan seluruh warganya. Kajian ini mengingatkan bahwa kota bukan sekadar tempat tinggal, melainkan arena hidup bersama, ruang tumbuh spiritualitas, dan benteng solidaritas sosial,” tutupnya. (***)
Discussion about this post