
Nasional | beritabatam.co : Dugaan wanprestasi perjanjian bisnis antara anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA), PT Citilink Indonesia dengan Sriwijaya Group (Sriwijaya Air dan NAM Air) akhirnya berujung ke meja hijau.
Gugatan sengketa kerja sama manajemen (KSM) PT. Citilink Indonesia kepada Sriwijaya Air Group, akan memasuki masa sidang pertama pada Kamis 17 Oktober 2019.
Berdasarkan laporan CNBC Indonesia, VP Corporate Secretary Citilink Indonesia Resty Kusandarina membenarkan gugatan.

“Iya, benar. Silakan dicek langsung di situsnya,” ujarnya dikutip dari CNN Indonesia. (28/09/19).
Dalam gugatannya, penggugat memohon agar PN Jakpus menyatakan bahwa Sriwijaya Air dan Nam Air selaku tergugat telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kerja sama yang telah disepakati sebelumnya.
Dalam hal ini, terhadap pasal 3 butir 1 dan pasal 3 butir 5 dari Perubahan dan Pernyataan Kembali Perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat dan Turut Tergugat No. CITILINK/JKTSDQG/AMAND-I/6274/1118 tanggal 19 November 2018.
Pernyataan Kembali perjanjian itu diubah berdasarkan Amandemen-II Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan Manajemen No. CITILINK/JKTDSQG/AMAND-II/6274/0219 tanggal 27 Februari 2019 dan Amandemen-III Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan Manajemen No. CITILINK/JKTDSQG/AMAND-III/6274/0319 tanggal 4 Maret 2019.
Sebagai informasi, sebelum kerja sama Garuda-Sriwijaya terjalin, Sriwijaya punya beban tanggungan ke beberapa BUMN di antaranya PT Pertamina sebesar Rp 942 miliar, PT GMF AeroAsia Tbk (GMFI) atau anak usaha Garuda Rp 810 miliar, PT Bank Negara Indonesia Tbk sebanyak Rp 585 miliar, utang spare parts US$ 15 juta, dan kepada PT Angkasa Pura II Rp 80 miliar, serta PT Angkasa Pura I sebesar Rp 50 miliar.
CNBC Indonesia melaporkan, laporan keuangan konsolidasi Garuda Indonesia per Juni 2019 lalu, total piutang grup ini ke Sriwijaya Air bernilai sebesar US$ 118,79 juta atau setara dengan Rp 1,66 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$).
Jumlah ini meningkat dua kali lipat dari akhir Desember 2018 yang senilai US$ 55,39 juta (Rp 775,55 miliar).
Besarnya beban itu mendorong terjadinya kerja sama pada 19 November 2018 dan pemegang saham Sriwijaya menyerahkan operasional maskapai itu kepada Garuda Indonesia.
Selanjutnya, kerja sama KSO (kerja sama operasional) diubah menjadi KSM (kerja sama manajemen) sebagai antisipasi agar kerja sama keduanya tak ‘disemprit’ Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).
Namun belakangan, KSM pun mulai tak harmonis. Ketegangan kedua grup ini memuncak ketika Dewan Komisaris Sriwijaya Air memutuskan untuk melakukan perombakan di jajaran direksi yang didominasi perwakilan Garuda. (*)
Discussion about this post