
Opini | beritabatam.co : Pesantren, sebagai salah satu institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah lama dikenal sebagai benteng tradisi keilmuan, spiritualitas, dan adab. Di tengah geliat zaman yang makin digital, pesantren kini berada di persimpangan jalan: haruskah tetap kukuh pada tradisi atau mulai membuka diri pada transformasi digital?
Beberapa kalangan melihat digitalisasi sebagai ancaman yang bisa merusak khusyuknya ngaji sorogan, melunturkan ketawadhuan santri, dan mengaburkan esensi adab. Di sisi lain, sebagian justru melihatnya sebagai peluang besar untuk memperluas jangkauan dakwah, memperkaya metode belajar, dan mempercepat kemajuan institusi. Maka, pertanyaannya penting: digitalisasi di pesantren—peluang yang menjanjikan atau ancaman yang merusak akar tradisi?
Pesantren di Era Teknologi: Mau Tidak Mau, Harus Siap
Tidak bisa dipungkiri, teknologi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan santri. Banyak santri hari ini membawa smartphone, belajar melalui YouTube, mendengarkan ceramah lewat podcast, bahkan ikut kelas kitab kuning secara daring. Pandemi COVID-19 mempercepat semua ini. Pesantren yang dulunya kaku terhadap internet, dipaksa adaptif dengan Zoom dan Google Meet.
Apakah ini berarti pesantren kehilangan nilai-nilai utamanya? Belum tentu. Semua tergantung pada bagaimana teknologi digunakan.

Peluang Besar di Balik Layar Digital
Digitalisasi bisa menjadi jembatan, bukan jurang. Beberapa peluang penting antara lain:
1. Akses Ilmu Lebih Luas
Santri bisa belajar langsung dari ulama luar negeri, membuka kitab klasik yang terdigitalisasi, atau mengikuti bahtsul masail lintas pesantren secara daring.
2. Efisiensi Administrasi dan Manajemen
Sistem keuangan, akademik, absensi, hingga laporan kemajuan santri bisa ditata lebih rapi dengan teknologi digital.
3. Ekspansi Dakwah Global
Banyak pesantren yang mulai memproduksi konten dakwah digital: podcast, TikTok syariah, kajian YouTube, hingga infografis islami. Ini adalah bentuk dakwah baru yang menjangkau lebih luas.
4. Menumbuhkan Talenta Digital Islami
Santri yang melek teknologi bisa menjadi konten kreator dakwah, programmer syariah, penulis islami digital, bahkan teknopreneur berbasis nilai Islam.
Tapi, Ada Ancaman Nyata untuk Tradisi
Namun, digitalisasi juga membawa risiko besar, khususnya bagi pesantren yang berakar kuat pada laku hidup sederhana dan adab. Beberapa kekhawatiran yang nyata:
1. Lunturkan Khusyuk dan Khidmat
Ngaji kitab yang biasa berlangsung khidmat bisa berubah jadi formalitas ketika dilakukan online. Keintiman relasi guru-murid bisa pudar di balik layar.
2. Tergoda Gaya Hidup Instan dan Duniawi
Ketika santri terlalu bebas berselancar di media sosial, muncul godaan popularitas, gaya hidup mewah, dan narsisme digital yang bertentangan dengan ruh pesantren.
3. Kecanduan Teknologi dan Gangguan Fokus
Alih-alih memperdalam ilmu, gadget bisa membuat santri terganggu dengan notifikasi TikTok, game, atau debat kusir online yang tak bermanfaat.
4. Erosi Bahasa Arab dan Tradisi Lisan
Tradisi membaca kitab kuning, hafalan, dan musyawarah bisa tergeser oleh konten cepat dan dangkal.
Bijak Menjawab Tantangan: Jalan Tengah Digitalisasi
Pertanyaannya bukan ‘menolak atau menerima digitalisasi,’ tapi bagaimana mengelola digitalisasi agar tetap berpihak pada nilai pesantren.
Beberapa pendekatan solutif:
• Kurasi Aplikasi dan Konten: Pesantren bisa menetapkan kurikulum digital khusus dengan aplikasi-aplikasi bermanfaat dan konten Islami yang sahih.
• Penguatan Akhlak Digital: Pendidikan adab harus masuk dalam literasi digital. Santri perlu tahu bahwa adab di dunia maya sama pentingnya dengan adab di dunia nyata.
• Digitalisasi yang Kontekstual: Tidak semua hal harus serba online. Sorogan, halaqah, dan khidmat tidak bisa digantikan teknologi. Gunakan digital untuk mendukung, bukan menggantikan.
• Pelatihan Guru dan Kiai: Para pengajar harus ikut naik kelas dalam hal digital agar tetap relevan dan mampu menjadi rujukan.
Penutup: Menjaga Akar, Menyapa Awan
Digitalisasi bukanlah musuh tradisi. Justru bisa menjadi kendaraan untuk memperluas nilai-nilai pesantren ke ranah global, jika dijalankan dengan bijak.
Pesantren tidak harus meninggalkan khazanah klasik untuk menjadi modern. Cukup menjadikan teknologi sebagai alat bantu untuk memperkuat warisan spiritual, keilmuan, dan kemandirian. Seperti pohon yang tinggi, pesantren harus menjaga akar-akarnya tetap menghujam, sembari menjulurkan cabangnya ke awan-awan masa depan.
Yang terpenting bukan apakah kita menjadi pesantren digital, tapi apakah kita tetap menjadi pesantren yang bermartabat. (***)
Discussion about this post