Oleh : Adi Agus Setiawan
Opini | beritabatam.co : Sejatinya proses dinamika sosial di indonesia hari ini mengalami persoalan-persoalan yang cukup menggelitik hati bagi siapapun baik yang mengikuti perkembangan kasus-kasus fenomenal yang muncul dipermukaan maupun yang hanya mendapatkan informasi dari meja-meja kopi disudut ruangan isolasi, maklum hari ini pengaruh corona masih sangat kuat dan sulit untuk ditandingi, dan hal ini dibuktikan oleh berkembangnya isu perombakkan kabinet indonesia maju, dampak dari menguatnya popularitas covid-19 dibanding kinerja dari kerja-kerja ideologi para punggawa istana.
Dalam kurun waktu sebulan terakhir, rasanya imajinasi anak-anak muda indonesia hampir mengalami gangguan berfikir untuk menggali kreatifitas dalam berkarya dan menyuarakan gagasan yang mereka miliki, kita bisa lihat bagaimana kisah Bintang Emon seorang vlogger yang juga terkenal dengan lawakan-lawakannya yang konyol kini menjadi target serangan para buzzer, dan sontak saja dalam waktu yang singkat aksi tersebut mendapat kecaman keras dari publik yang menganggap bahwa hal ini dapat membahayakan kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat di muka umum, apalagi dalam iklim demokrasi, kritikan-kritikan seperti ini lumrah dilakukan jika masyarakat menilai ada hal yang ganjil dalam proses penyusutan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior dilembaga anti rasuah tersebut.
Dari kasus Bintang Emon yang kini tak lagi disoroti oleh kamera para penguasa raksasa media massa, kita bergeser dari fenomena perubahan arah haluan ideologi Pancasila dan juga tentang fenomena bendera membara yang baru saja terjadi di daratan ibu kota negara.
Bicara soal ideologi nampaknya kita tidak bisa melepaskan peran penting dari sosok presiden pertama indonesia, sang proklamator bangsa Ir.Soekarno atau yang akrab dengan nama juangnya bung karno, panglima revolusi indonesia ini merupakan salah satu aktor dibalik lahirnya Pancasila di bumi pertiwi ini dan nantinya akan menjadi dasar negara indonesia sampai dengan detik ini, ya walaupun nantinya ada wacana untuk merubah haluan ideologi Pancasila serta penghematan makna untuk dikerucutkan menjadi trisila hingga ekasila.
Demokrasi hari ini sepertinya terancam mati, bicara sekali buzzernya berkali-kali, komentar lima kata, teracam pidana penjara, hal ini juga yang menyebabkan hilangnya gairah dalam perjuangan angkatan muda untuk membawa arus perubahan bagi bangsa.
Fenomena hari ini tentu tidak bisa dianggap sebagai sebuah hal yang biasa-biasa saja, tentu hal ini menjadi sebuah titik focus bagi kita anak muda indonesia untuk kembali berfikir ditengah pola piker yang sedikit mengarah kepada kediktatoran penguasa, walau terkadang acapkali kita merasa bahwa setiap pembangunan juga butuh pengorbanan, namun bukan berarti dengan mengorbankan kebebasan.
Bicara soal dwifugsi tentu bukan hal yang asing lagi ditelinga manusia-manusia indonesia untuk saat ini, terlebih bagi mereka para generasi yang hidup di era orde baru, dibawah pimpinan presiden Soeharto selama 32 tahun, beliau sukses melenggangkan tampuk kekuasaannya dengan menggunakan kekuatan militer yang perlahan namun pasti memasuki dunia pemerintahan untuk membantu sang presiden dalam persoalan kenegaraan.
Namun lengsernya rezim soeharto bukan serta merta ikut juga melengserkan peran dwifungsi ABRI, karena semenjak runtuhnya rezim orde baru yang ditandai dengan hadirnya era reformasi, ada kelompok-kelompok pengganti dwifungsi yang perlahan ditinggalkan oleh faksi TNI, kelompok inilah yang mengisi kekosongan wilayah didalam pemerintahan baik ditingkat pusat maupun didaerah tingkat satu maupun dua. Fenomena seperti ini bukan tanpa alasan, sebab berbagai pucuk pimpinan baik ditingkat pemerintahan maupun lembaga non pemerintahan banyak diisi oleh kelompok yang tergabung dalam korps bhayangkara.
Dalam undang-undang no 2 tahun 2002 Tentang kepolisian Republik Indonesia dalam pasal 28 ayat 3 dijelaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan diluar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Dalam pasal yang tertuang dalam undang-undang diatas sepertinya jelas mengatur akan tugas dan kedudukan anggota korps bhayangkara dalam struktur pemerintahan.
Akan tetapi hal ini masih terlihat hanya sebatas peraturan biasa, dan ini dibuktikan dari beberapa fenomena yang menarik seperti penunjukan pelaksana tugas (Plt) Gubernur Jawa Barat Komjen Pol. Moh. Iriawan pada tahun 2018, kemudian penunjukan Irjen Pol Andap Budi Rhevianto yang ditugaskan di Kementerian Hukum dan Ham serta Irjen Opik Taofik Nugraha yang di mutase ke Kementerian Perdagangan dan masih banyak perwira aktf lainnya.
Hal ini tentu menimbulkan kontroversi dan polemik yang terus berkembang ditengah masyarakat, polemik muncul dikarenakan proses pengkaryaan bagi para anggota korps bhayangkara dinilai tidak memperhatikan pada landasan hukum seperti yang tertuang dalam UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan tentu hal ini akan menyeret-nyeret kembali akan dinamika politik era orde baru yang kini berenkarnasi dengan sentuhan yang berbeda. Hal ini juga dapat membahayakan lembaga kepolisian yang nantinya dapat terjerumus derasnya arus politik di bumi nusantara.
Selain itu adanya rotasi yang tidak sesuai baik dikalangan Perwira TNI dan Polri di tubuh birokrasi hari ini semakin menambah polemik yang akan semakin menambah resiko kegagalan dalam mengelola manajemen pemerintahan baik ditingkat pusat maupun daerah, karena penempatan tugas dan wilayah kerja bukan berdasarkan atas kompetensi yang dimiliki, namun lebih kepada personal pribadi maupun golongan.
Ditambah dengan persoalan lulusan sekolah-sekolah kedinasan yang tak memiliki ruang kerja yang luas paska semakin massifnya mutasi yang terjadi. (***)
Kolom Opini merupakan ruang bagi pembaca untuk menyampaikan ide, gagasan atau kritikan terhadap kebijakan publik. Seluruh isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis.
Discussion about this post