Oleh : Bahzomi Fuadi *)
Batam | beritabatam.co : Gendrang “kampanye” sudah ditabuh, Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin, dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Yang menarik, meski pilpres masih berlangsung April 2019, perang urat syaraf di media sosial (medsos) sudah tidak terhindarkan.
suhu politik di medsos kian panas karena semua yang akan bertarung baik itu di pilpres, pemilu legislatif (pileg) juga menggunakan medsos untuk aksi serupa.
Penggunaan medsos memang sangat strategis karena menjadi media yang serba terbuka untuk siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Perang kata-kata, berita bohong, palsu, hoaks pun terus bertebaran. Ketika seseorang mengunggah berita tentang pasangan calon, lantas ditanggapi oleh mereka baik yang berada di kubunya maupun di lain antara mendukung pasangan yang didukung dan mencaci maki pasangan yang lain.
Hanya dengan sebuah gawai, medsos dapat diakses di mana-mana. Sifatnya yang sangat personal bahkan dapat berkomunikasi dua arah, medsos memberikan kemudahan termasuk dalam mewacanakan hal-hal terkait politik.
Menjelang Pilpres 2019 cenderung kian masif karena calon presiden (capres) yang maju kebetulan orang yang sama. Bedanya Jokowi merupakan petahana yang bagi pendukungnya menjadi keharusan untuk menang kembali.
Sementara itu, Prabowo kali ini menjadi penantang melawan petahana. Tentu jauh lebih bersemangat untuk mengalahkan sang petahana. Kubu Prabowo tentu lebih “penasaran” bagaimana mengalahkan Jokowi. Pertandingan sejati baik bagi Prabowo maupun Jokowi pada tahun 2019 ini. Tahun 2014 Prabowo merasa yakin mengalahkan Jokowi namun kenyataan tidak demikian. Maka tahun 2019 menjadi tahun yang menentukan siapa sesungguhnya yang dikehendaki rakyat.
Medsos menjadi alat kampanye yang efektif selain personal menjangkau kalangan luas dalam waktu sangat cepat. Metode kampanye konvensional dengan mengarahkan massa dalam rapat umum sudah mulai ditinggalkan. Selain mahal juga tidak efektif untuk memengaruhi pemilih. Keramaian hanya di arena dengan beragam atribut dan jargon-jargon namun kurang bermakna.
Gegap gempita diskusi, perang gagasan, visi dan misi pasangan calon berpindah dari dunia nyata ke jagad maya. Maka segala informasi ditumpahkan di medsos. Bahkan saling mendiskreditkan terasa riuh di medsos. Dibanding media konvensional, karena medsos memiliki penetrasi yang tidak mengenal ruang dan waktu.
Kampanye hitam sebuah upaya untuk merusak atau mempertanyakan reputasi seseorang, dengan mengeluarkan propaganda negatif. Hal ini diterapkan kepada paslon atau kelompok.
Untuk kalangan yang mengenyam pendidikan lebih baik, medsos lebih efektif ketimbang orang melihat baliho atau spanduk. Isi baliho atau spanduk dilirik orang namun tidak memengaruhi isi pikiran. Spanduk hanya memboroskan dana namun tidak efektif membangun citra seseorang. Politisi yang pintar tidak akan memajang dirinya dalam spanduk sebagai iklan.
Beda halnya dengan di medsos yang setiap saat dikunjungi melalui perangkat yang sangat pribadi, smartphone. Belum lagi variasi jenis medsos yang benar-benar memanjakan penggunanya. Jaringan pertemanan di medsos adalah lahan subur penyampaian informasi dengan masif berbagai arah dan terus menerus. Apalagi konon, di medsos terdapat tim kampanye yang khusus memasok informasi baik benar maupun palsu ke medsos.
Begitu juga Kolega dan teman bisa memberikan informasi yang masif di medsos. Keuntungan di medsos informasi tidak hanya menyebar ke satu dua orang, tetapi bahkan bisa ribuan dan jutaan tergantung follower yang bersangkutan. Medsos menjadi ajang sangat efektif untuk pertukaran ide dan gagasan. Penyebaran kampanye melalui medsos berlangsung sangat cepat dan nyaris tanpa batas.
Medsos adalah sarana komunikasi ketika setiap individu saling memengaruhi. Mereka yang melek informasi akan selektif menerima informasi dan tidak mudah dibohongi. Pencitraan yang dibangun baik kubu Jokowi maupun Prabowo sehingga menghasilkan elektabilitas yang tinggi seperti sekarang ini ditopang sangat kuat oleh medsos.
Kini dapur tim kampanye dari kedua kubu pasti didukung tim medsos yang andal. Karena sifatnya yang privat, maka medsos tidak tepat untuk melakukan mobilisasi. Kerja medsos membutuhkan ketekunan dan kerja kolektif segenap tim di belakang layar.
Politisi yang menggunakan medsos sebagai ajang kampanye adalah politisi yang sabar karena tidak akan menghasilkan sesuatu yang instan. Bagi mereka yang bekerja sepanjang waktu, medsos memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Namun begitu tidak semua informasi yang menyebar di medsos dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan sebagian di antaranya merupakan informasi bohong, palsu, hoaks yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Melihat karakter medsos yang masuk ke jantung privat pengguna seperti individu dan keluarga, maka “daya rusaknya” perlu diantisipasi. Berharap mereka yang menggunakan medsos lebih bijak dan santun kiranya tidak berlebihan. Sebab medsos juga dibaca oleh anak-anak di bawah umur yang masih tengah belajar kebenaran informasi. Informasi yang tidak akurat juga kerap menyesatkan.
Selain itu, beredarnya informasi yang cenderung memecah belah persatuan, membangkitkan rasialisme, dan intoleransi yang membahayakan kehidupan bersama sebagai bangsa. Karena itu, kita berharap penggunaan medsos masih dalam koridor positif untuk menciptakan kampanye dan pemilu yang damai. Pemilu yang damai berawal dari keinginan semua pihak menciptakan suasana yang santun mulai dari cara berkomunikasi yang santun melalui medsos.
Justru dengan memecah belah dan mengkotak-kotakkan, berbahaya bagi demokrasi itu sendiri. Menjadi tanggung jawab kita semua menciptakan pemilu yang damai sejak dalam tahapantahapan awal.
Selain santun dan bijak bermedsos juga perlu ada regulasi yang komprehensif. Kecurangan bisa saja banyak terjadi apalagi pengaturan medsos masih banyak celah. Akun-akun medsos anonym atau digerakkan robot kian mencemaskan karena justru melontarkan informasi yang meresahkan masyarakat. Sebab bisa jadi mereka akan menggunakan segala cara agar memengaruhi pemilih dan menang.
Medsos hadir dan menjadi penyeimbang dari media konvensional seperti koran dan televisi yang celakanya kerap tidak netral. Kehadirannya juga tidak mungkin ditolak. Namun medsos harus dijaga agar informasi yang disebarluaskan dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab. Ini semua agar tidak memecah belah persatuan. Ketika televisi menjadi corong pemilik untuk kepentingan politik mereka, medsos dapat menjadi penyeimbang bagi public memperoleh informasi yang lugas.
Untuk itu, masyarakat Indonesia menyikapinya harus senantiasa menjunjung tinggi prinsip humanisme, pluralisme, persaudaraan, kerukunan, dan kekeluargaan dan menghindarkan diri dari pemaksaan kehendak. Semangat kekeluargaan tersebut dapat diwujudkan dengan membantu mewujudkan situasi yang kondusif saat pelaksanaan pileg dan pilpres
Toleransi harus didepankan dalam mewujudkan bangsa yang besar. Untuk itu bangsa Indonesia dituntut lebih dewasa dan fokus untuk tidak membuang energi terhadap berbagai hal yang sudah menjadi kesepakatan bangsa dan hanya dapat menimbulkan perselisihan antar anak bangsa.
Bangsa Indonesia harus yakin dengan segala kearifan yang telah menjadi modal besar dalam sejarah bangsa, karena kita memiliki sumber daya berlimpiah sebagai sebuah rahmat Tuhan terhadap Indonesia, maka semua anak bangsa harus tetap memiliki kayekinan bahwa Indonesia akan menjadi sebuah bangsa besar dengan segala yang dimiliki yaitu semangat persatuan dan gotong royong yang dilandasi dengan pemahaman Pancasila yang telah di tanamkan oleh para pendahulu bangsa.
Konsep “Revolusi Mental” tidak hanya menjadi sebatas wacana dan jargon belaka. Sebagaimana pesan Soekarno, revolusi mental bukanlah pekerjaan satu-dua hari, melainkan sebuah proyek nasional jangka panjang dan terus-menerus. “Memperbaharui mental suatu bangsa tidak akan selesai dalam satu hari,”Revolusi mental merupakan hal yang penting sebagai upaya menjadikan bangsa yang bersih dari mental-mental pemalas, mental koruptor, pada satu titik, yaitu kesejahteraan rakyat. Maka dari itu, marilah kita dukung berbagai kebijakan tersebut agar tetap berada di jalurnya. Semoga di tahun depan kesejahteraan rakyat menjadi semakin meningkat.
tahun politik kita semua berharap bangsa Indoensia lebih bermartabat dan lebih bijaksana.
Maju dan sejahterahnya Indonesia yang kita cita-citakan.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa dan berlatar belakang berbeda ras, suku, dan agama, serta kepercayaan, masyarakat Indonesia hidup dalam kebersamaan sesuai dengan semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”. Berdasarkan semboyan tersebut, keberagaman di Indonesia merupakan salah satu tonggak dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, bukan sebagai pemecah belah bangsa.
Makna yang dimaksud disini adalah adanya peningkatan rasa toleransi beragama, hidup rukun antar tetangga, tenggang rasa, hormat-menghormati dan sebagainya sebagai sebuah tradisi yang sejak dulu menjadi
Untuk itu, masyarakat Indonesia harus senantiasa menjunjung tinggi prinsip humanisme, pluralisme, persaudaraan, kerukunan, dan kekeluargaan dan menghindarkan diri dari pemaksaan kehendak. Semangat kekeluargaan tersebut dapat diwujudkan dengan membantu mewujudkan situasi yang kondusif saat pemilu pilpres.
“Kampanye yang ditampilkan masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tidak substantif. Hanya jargon-jargon politik padahal seharusnya diisi dengan adu program dan gagasan berbasis data akurat,”
“Pada akhirnya menyerang karakter calon yang sifatnya personal karena itu satu-satunya yang membedakan kedua kubu. Nyaris tidak ada beda antara keduanya dari sisi program,
Dalam demokrasi mengharuskan seseorang atau kelompok berkompetisi karena jabatan terbatas. Alhasil, memungkinkan untuk melegitimasi diri sendiri dan deligitimasi lawan politik.
Seharusnya, kubu penantang harus deligitimasi petahana dengan mengkritik, menyanggah dan berargumen terkait kebijakan yang dijalankan pemerintah. “Cara yang paling beradab untuk mendelegitimasi lawan adalah delegimasi kebijakannya, serang kebijakannya. Semua argumen dikeluarkan untuk mendelegitimasi, baik visi misi gagasan, itu yang paling bermartabat,”.
Kampanye yang dilakukan dalam pilpres tidak menggunakan metode deligitmasi politik yang mengkritik lawan politik, termasuk berdebat terkait visi misi dan program. Dia menilai, politik deligitimasi itu terhormat, namun apabila mengkritisi kebijakan dengan data palsu, maka menjadi tidak baik.
“Lalu akhirnya delegitimasi gagal karena datanya hoaks. Akhirnya menyerang karakter calon dengan data hoaks,”
Kampanye politik, adu retorika dan jargon merupakan hal yang biasa. Namun, jargon yang dilontarkan para pasaangan calon harus mendidik masyarakat. Mengingat, semua orang menginginkan politik Indonesia bermartabat.
*) Bahzomi Fuadi, Dosen STIKes Ibnu Sina Batam/Ketua Harian PW. Pujakesuma provinsi Kepulauan Riau.
Discussion about this post