Jakarta | Pada tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional yang disingkat sebagai HPN. Berbagai media cetak, online, radio, kementerian dan berbagai stasiun televisi mengikuti pameran pers yang diadakan di salah satu kota di Indonesia yakni Surabaya. Berbicara soal pers dan hari pers nasional, ada cerita kelamnya profesi wartawan di Indonesia. Bagaimana ceritanya?
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985, hari pers nasional telah digodok sebagai salah satu butir keputusan kongres ke-28 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang dilaksanakan di kota Padang Sumatera Barat, pada tahun 1978. Kesepakatan tersebut terlepas dari kehendak masyarakat untuk menetapkan 1 hari bersejarah untuk memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional.
Hari Pers Nasional diselenggarakan setiap tahun secara bergantian. Pada tahun ini, Surabaya akan menjadi tuan rumah untuk rapat dan peringatan hari pers nasional, dengan tema ‘penguatan ekonomi kerakyatan berbasis digital’. Acara ini diadakan di salah satu mal besar yakni Grand City Mall Surabaya. Dalam pesta pers ini, banyak yang dapat mendukung mulai dari kementerian, BUMN, dan UMKM dalam pengembangan ekonomi berbasis digital. Acara tahun ini diramaikan oleh kurang lebih 60 stand.
Khusus untuk stand PWI pusat, di sana akan dipajang berbagai karya pemenang Adinegoro 2018, seperti karya foto jurnalistik dan editorial kartun (kartun opini), dan ada pameran buku karya para wartawan yang bergabung dalam PWI. Tentu saja penampilan ini banyak didukung oleh mereka yang berasal dari kalangan pers maupun non pers.
Sejarah Kelam Pers Indonesia
Pers nasional dapat berkembang dan mencapai keberhasilan bukan tanpa alasan dan dukungan. Namun harus diketahui bahwa pers pernah mengalami masalah sejarah yang cukup kelam. Hari Pers Nasional masuk ke dalam salah satu sejarah lahirnya PWI.
Selain itu, organisasi PWI merupakan salah satu organisasi tunggal wartawan pada masa era Soeharto, yang lahir pada 2 Februari 1946. Dalam tulisan tersebut juga disebutkan bahwa pada era itu, pencetusan ide untuk memperingati Hari Pers Nasional muncul dalam Kongres PWI pada tahun 1978 yang saat itu diketuai oleh Menteri Penerangan, Harmoko. Pada tahun 1985, muncullah Keputusan Presiden (Keppres) yang menetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional.
Tidak hanya sampai informasi itu saja, namun Hari Pers Nasional sebenarnya menjadi topik utama yang banyak dibicarakan sebagai salah seorang budayawan, Taufik Rahzen, yang pernah mengusulkan adanya Hari Pers Nasional untuk masuk ke dalam surat kabar harian berbahasa Melayu yang dirilis oleh pribumi. Koran itu menyuarakan suara mereka terhadap kolonial. Hal ini jelas mengundang masalah bagi banyak penjajah karena bisa menimbulkan kudeta dan perginya penjajah.
Sejarah Pers di Orde Baru
Di sisi lain, hancurnya rezim Orde Baru kala itu menjadikan teman-teman pers yang bergabung merasa terbebas dan dapat menyuarakan berbagai hal yang kala itu menjadi hal yang membahayakan. Pada masanya, pers atau wartawan memiliki keterbatasan dalam menyuarakan pendapat ataupun informasi. Terutama melibatkan pemerintah.
Selain itu, banyak pers yang menghilang bahkan terbunuh pada masa Orde Baru yang menyebarkan informasi mengenai fakta pemerintah ataupun menyebarkan informasi yang salah dan bersifat memfitnah. Hal ini menjadikan banyak orang yang berprofesi pers menjadikan profesi menantang dalam menegakkan keadilan.
Setelah perjalanan panjang akhirnya kebebasan pers dimulai pada periode setelah Orde Baru mulai runtuh. Dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers oleh Presiden BJ Habibie, pers mulai mengembangkan profesi dan ranah sebagai penggiat informasi dan aturan tentang pers tersebut diberlakukan hingga saat ini. Secara norma tertulis, pers mendapatkan perlindungan hukum dan kebebasan di bawah naungan UU tersebut.
Sayangnya adanya UU yang diberikan presiden sebelumnya tidak menjamin keamanan pers pada masa tersebut. Hal ini dikarenakan masih banyak kejadian seperti pers yang tidak dilindungi dan masih terganggu kebebasannya.
Mereka seringkali mengalami kekerasan fisik tanpa adanya kejelasan terkait penyelesaian kasusnya. Bahkan tak jarang kantor pers diserang oleh orang yang tidak dikenal dan merusak atau melukai mereka. Namun kembali lagi, keprofesionalan mereka tetap diutamakan dan pers dikenal sebagai profesi tanpa rasa takut.
Merujuk dari sejarah pers pada awal kekuasaan Orde Baru, Indonesia dijanjikan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Sehingga masyarakat berharap mereka dapat menyampaikan harapan terhadap negara, terutama saat Indonesia sudah bisa merdeka dan merasakan menjadi negara yang independen. Hal ini juga menjadikan masyarakat menyambut kepemimpinan pemerintahan Soeharto setelah mengalami keterpurukan pemerintah saat masa orde lama. Pemerintah saat itu harus memiliki berbagai pemulihan mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan psikologis masyarakat.
Kasus Lainnya
Pada masa Orde Baru, banyak terjadi pemberedelan terhadap beberapa media massa nasional. Tepatnya pada tahun 1994, terdapat tiga media massa yang diberedel atau dicabut surat izin penerbitannya, yaitu Majalah Tempo, Majalah Editor, dan Majalah Detik.
Kasus kekerasan pada kalangan pers juga sempat terjadi hingga pasca era Reformasi. Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), terdapat 50 kasus kekerasan yang dialami kalangan pers pada tahun 2013. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi ancaman atau teror, pengusiran dan larangan peliputan, serangan fisik, sensor, tuntutan atau gugatan hukum, pemberedelan atau larangan terbit, regulasi, demonstrasi dan pengerahan masa, perusakan kantor, serta perusakan alat.
Undang-Undang Pers yang Berlaku
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku:
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 nomor 40, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 32, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3235).
2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala, dinyatakan tidak berlaku.
Itulah penjelasan mengenai pers terutama Hari Pers Nasional yang pernah dilewati oleh Indonesia. Hal inilah yang menjadikan kita harus mengingat atau me-review kembali bahwa perjuangan Pers tidaklah sedikit dan mudah. Di sisi lain, kita juga harus memahami mengenai peranan pers di Indonesia yang cukup besar dalam sejarah Indonesia.
( Sumber detik.com )
Discussion about this post